AHOK - Gubernur DKI Jakarta (Sumber: Google) |
Provinsi DKI Jakarta adalah satu dari 34 provinsi yang ada di wilayah Republik Indonesia, tetapi sebagai Ibukota Negara DKI Jakarta menjadi sangat istimewa dan strategis kancah politik nasional maupun internasional. Sebagai Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta proses suksesi kepemimpinan di DKI Jakarta bisa dikatakan hampir sama levelnya dengan suksesi kepemimpinan nasional (pemilihan presiden) sehingga tokoh-tokoh berkaliber nasional tertarik mencalonkan diri menjadi calon gubernur DKI Jakarta dari waktu ke waktu. Demikian juga partai politik di tingkat nasional (dewan pimpinan pusat/DPP) partai politik harus mengkalkulasi cermat, cerdas dan matang siapa bakal calon yang akan diusung dan/atau didukung untuk menduduki kursi DKI 1 dengan berbagai taktik strategi masing-masing.
Sekalipun pemilihan gubernur DKI Jakarta masih setahun lagi, suhu politik di DKI Jakarta kini telah memanas, bahkan telah menimbulkan logika-logika aneh di luar logika konstitusi yang berlaku di republik ini. Pernyataan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok maju mencalonkan diri dari jalur perseorangan atau independen dengan dukungan penggalangan KTP relawan “Teman Ahok” telah menyulut amarah partai politik tak karu-karuan hingga menuding Ahok melakukan “deparpolisasi” yang kemungkinan besar disebabkan faktor “ketakutan” terhadap sosok Ahok yang saat ini Gubernur DKI Jakarta melanjutkan kepemimpinan DKI Jakarta Joko Widodo/Basuki Tjahaja Purnama periode 2012-2017 setelah Joko Widodo atau Jokowi terpilih menjadi Presiden Republik Indonesia ke tujuh tahun 2014 lalu.
Sebagaimana telah diketahui publik, keterpilihan Joko Widodo (Jokowi)/Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) pada pemilihan gubernur DKI Jakarta 2012 lalu sungguh sangat fenomenal, bahkan di luar nalar keperkasaan partai politik, dimana ketika itu pasangan Jokowi/Ahok hanya diusung/didukung minoriti partai politik, yakni; PDI-Perjuangan dan Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) di putaran kedua berhasil meraup suara sebanyak 2.472.130 (53,82 persen), sementara pasangan Fauzi Bowo (Foke)/Nachrowi Ramli yang notabene petahana (incumbent) serta diusung/didukung mayoriti partai, yakni; Partai Demokrat, Partai Golkar, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Hati Nurani Rakyat (PAN), Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Matahari Bangsa (PMB) hanya mampu meraih suara sebanyak 2.120.815 (46,17 persen) sesuai keputusan KPUD DKI Jakarta tanggal 29 September 2012.
Sosok Jokowi/Ahok yang datang dari daerah di luar Jakarta, yakni; Walikota Surakarta Solo dan Bupati Belitung Timur dengan rekam jejak kinerja (trackrecord) berhasil memimpin kota dan kabupaten sepertinya belum disadari paripurna oleh elite partai politik dalam mengusung/mendukung pasangan calon kepala daerah di seluruh Indonesia, termasuk DKI Jakarta pada pemilihan 2017 ini. Partai politik masih mengandalkan “keperkasaan dan arogansi” menentukan pasangan calon ketimbang rekam jejak kinerja pada level sebelumnya, dan disinilah bias nyata logika partai politik dengan logika rakyat pemilik hak suara dalam menentukan/memilih kepala daerah.
Sebagaimana artikel penulis pada pemilihan gubernur DKI Jakarta 2012 lalu dengan judul “Jokowi Mengukur Kedewasaan Kebangsaan Indonesia”di SKI ASPIRASI, Deteksinews @ yahoo.com, penulis mengatakan telah muncul kembali “Jolak Komitmen Watak Indonesia/Jokowi” yang menjunjung tinggi Bhinneka Tunggal Ika wujud nyata pluralisme, multikultural bangsa Indonesia, sepertinya terulang kembali pada pemilihan gubernur DKI Jakarta 2017 akan datang. Kedewasaan kebangsaan Indonesia tercermin dari sejauhmana bangsa ini memandang keindonesiaan secara bulat dan utuh diatas fondasi Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, Bhinneka Tungga Ika dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) secara nyata. Pemilihan pemimpin sejatinya ialah memilih putera/puteri terbaik bangsa berkarakter negarawaan dibuktikan rekam jejak kinerja (trackrecord) yang bisa diukur obyektif, transparan dan akuntabel. Hal-hal bersifat tendensius subyektifitas bernuansa sektarianis-primordial tidak boleh sekali-sekali ukuran layak-tidaknya memilih dan/atau menentukan calon pemimpin di berbagai level kepemimpinan di negeri ini.
Setelah mengamati berbagai pemberitaan di media massa tentang proses pemilihan Gubernur DKI Jakarta pasca pernyataan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) maju melalui jalur perseorangan (independen) yang menimbulkan “kebakan jenggot” elite partai politik, penulis teringat kembali untuk menganalisis makna kata nama mantan Bupati Belitung Timur yang kini Gubernur DKI Jakarta melanjutkan periode Joko Widodo (Jokowi)/Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) periode 2012-2017. Setelah melakukan permenungan serta analisis mendalam, penulis menemukan makna kata AHOK ialah “Anatomi Hayati Otensitas Kepemimpinan” yakni; satu tipikal kepemimpinan berbasis kehendak rakyat (bangsa) Indonesia, bukan kehendak dan/atau keinginan elite partai politik yang cenderung bias dan berseberangan kehendak rakyat.
“Anatomi Hayati Otensitas Kepemimpinan atau AHOK” adalah unsur penghayatan sejati keberadaan (otensitas-red) kepemimpinan dilaraskan pada kehendak rakyat dan perintah konstitusi sungguh sangat berkorelasi linier dengan sumpah/janji jabatan yang kerap diingkari dan/atau diabaikan sebahagian besar pejabat publik di republik ini.
Selaku tandem Joko Widodo (Jokowi) pada pemilihan Gubernur DKI Jakarta periode 2012-2017 lalu, Ahok tentu sungguh sangat mengerti dan memahami Pidato perdana Presiden Joko Widodo atau Jokowi di depan Sidang Paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI 20 Oktober 2014 yang mengantakan, “Hanya tunduk kepada kehendak rakyat dan konstitusi”. Pernyataan ini seharusnya menjadi perhatian serius anak-anak bangsa, termasuk partai politik memilih dan menghadirkan pemimpin era baru di negeri ini. Namun, tanda-tanda zaman itu nampaknya belum menjadi kesadaran baru sehingga kerap terjadi bias logika politik rakyat dengan logika partai politik dalam menentukan dan/atau memilih calon pemimpin.
Oligarkhi elite partai politik berseberangan dengan keinginan rakyat menentukan calon pemimpin harus pula disadari mendalam dan mendetail telah melahirkan para pemimpin mengutamakan kepentingan partai politik dibandingkan kepentingan seluruh rakyat dalam menelorkan berbagai kebijakan publik hingga timbul gelombang unjuk rasa di berbagai daerah.
Kepala daerah (gubernur, bupati/walikota) dikekang dan/atau didikte partai pengusung/ pendukung menjalankan kepemimpinan hingga tak mampu memosikan diri pemimpin publik yang mengayomi seluruh rakyat, tanpa kecuali. Dan hal itu pula tercermin dari rendahnya “mono loyalitas” kepala daerah terhadap pemimpin diatasnya yang notabene berasal dari partai politik berbeda. Padahal, selaku pemimpin publik seorang pemimpin seharusnya tidak boleh sekali-sekali membedakan rakyat yang dipimpin walau dengan alasan apapun.
Jika partai politik selalu bernafsu mendikte/memaksakan kepentingan partai politik terhadap pemimpin publik maka telah terjadi “Koloni Partai Politik” dengan berbagai kompensasi politik, seperti; mahar politik, kapling jabatan, keberpihakan kebijakan, dan lain sebagainya yang menjadi beban politik bagi kepala daerah (gubernur, bupati/walikota) kepada partai politik pengusung/pendukung, termasuk tim suksesnya.
Anatomi hayati otensitas kepemimpian (Ahok) yang ingin melepaskan ‘koloni partai politik” melalui pencalonan perseorangan (independen) sejatinya bukanlah “deparpolisasi” seperti dilontarkan elite-elite partai politik, sebab pencalonan kepala daerah (gubernur, bupati/walikota) melalui jalur perseorangan (independen) adalah legal menurut undang-undang yang berlaku di republik ini. Yang menjadi pertanyaan ialah mengapa ketika Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) memutuskan maju kandidat gubernur DKI Jakarta periode 2017-2022 para elite partai politik “menuduh/menuding” Ahok melakukan “deparpolisasi” ? Bukankah jalur perseorangan (independen) sah dan konstitusional, dan telah berlangsung pula diberbagai provinsi, kabupaten/kota di seluruh indonesia tidak dipersoalkan, kecuali pencalonan Ahok yang dimotori “Teman Ahok” menjadikan elite partai politik “kehilangan muka” dan merasa “dipermalukan” daulat rakyat non partai politik.
Sungguh menarik tulisan M SUBHAN SD pada “kolom politik” dengan judul ‘Deparpolisasi’ di Harian Kompas (Sabtu, 12/03/2016), “Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok mungkin dianggap “biang kerok” gara-gara memilih jalur perseorangan untuk ikut Pilkada DKI Jakarta 2017, ia dituding melakukan deparpolisasi. Padahal, Ahok bukan orang pertama yang memilih jalur perseorangan. Pada pilkada serentak tahun 2015, menurut data Skala Survei Indonesia ada 35 persen pasangan calon perseorangan. Sebanyak 14,4 persen mereka menang mengalahkan mesin partai politik. Ahok memang apes saja. Namun, ini menunjukkan Ahok ditakuti parpol”.
Pada era pemilihan langsung, faktor “figur” jadi daya tarik tersendiri. Publik lebih memilih figur lingkaran luar ketimbang elite atau kelompok oligarkis di parpol. Figur Joko Widodo yang sekelas kader justru jadi produk laris manis. PDI-P menang Pemilu 2014, tetapi Jokowi yang jadi presiden. Faktor figur menggerus legitimasi parpol. Tanpa disadari oleh parpol, inilah pintu awal proses deparpolisasi.
Dalam terminologi politik, parpol punya fungsi-fungsi penting; sarana komunikasi politik, sarana rekrutmen politik, sarana pengelola konflik (Miriam Budiardjo, 1994). Intinya, parpol mustahil ditiadakan dalam pengelolaan negara dan bangsa. Runyamnya, sebahagian parpol bercitra buruk. Banyak kader terjerat korupsi. Politik uang menjadi virus yang menjalari sekujur tubuh parpol-parpol. Survei populi Center, Januari 2015, menunjukkan cuma 12, 5 persen responden yang percaya parpol. DPR, tempat kerja parpol menjadi lembaga terkorup (39,7 persen) diatas Polri (14,2 persen). Distrust terhadap parpol begitu tinggi. Perilaku korup kader justru itulah proses deparpolisasi. Sadarkah mereka ?”.
Seandainya, partai politik menyadari paripurna fungsi partai politik sebagaimana dikatakan Miriam Budiardjo, yakni; sarana rekrutmen politik dalam mengusung/mendukung calon pemimpin (presiden, gubernur, bupati/walikota) maka partai politik akan melakukan “jemput bola” figur-figur calon pemimpin melalui penelusuran rekam jejak kinerja (trackrecord) seperti; kejujuran, kesahajaan, kesederhanaan, kredibilitas, kapasitas, kapabilitas, komptensi, serta integritas dibandingkan “transaksi politik”. Berbagai kompensasi politik, seperti; mahar politik, kapling kekuasaan ataupun isinitas (uang-red) yang menjadi rahasia umum, dapat dirasakan sulit dibuktikan dalam pencalonan kepala daerah (gubernur, bupati/walikota) harus pula disadari salah satu penyebab munculnya kandidat kepala daerah dari jalur perseorangan (independen), apalagi jalur perseorangan adalah legal dan absah menurut konstitusi. Jalur perseorangan bukanlah illegal apalagi haram dan dosa dalam pencalonan kepala daerah (gubernur, bupati/walikota) sehingga amat keliru besar serta sesat pikir menuding deparpolisasi.
Elite-elite partai politik seharusnya mengaca diri atas ketidakpercayaan (distrust) rakyat pada partai politik yang cenderung “transaksional” ketimbang menuding deparpolisasi kepada calon kepala daerah jalur perseorangan yang diamanahkan peraturan perundang-undangan yang berlaku di negeri ini. Jangan seperti menepuk air diatas dulang terpercik muka sendiri. Seharusnya, partai politik berbenah diri dan menyadari habitatnya sarana rekrutmen politik (calon pemimpin-red) agar partai politik mampu meraih kepercayaan (trust) rakyat selaku pilar demokrasi melahirkan pemimpin-pemimpin negarawan mewujudkan kedaulatan di tangan rakyat sesuai Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, Bhinneka Tunggal Ika dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Dalam sitem demokrasi langsung seharusnya partai politik menyadari paripurna hak pilih (suara) adalah daulat rakyat, bukan daulat partai politik sehingga keinginan dan kehendak rakyat memilih pemimpin (presiden, gubernur, bupati/walikota) menjadi acuan dasar bagi partai politik mengusung dan/atau mendukung calon pemimpin. Partai politik dan/atau gabungan partai politik menurut undang-undang berfungsi dan berperan pengusung dan/atau pendukung calon kepala daerah yang akan dipilih daulat rakyat. Karena itu, jika partai politik keliru atau salah mengusung/mendukung calon kepala daerah akan gagal dalam pemilihan umum kepala daerah (Pemilukada) seperti kegagalan beberapa partai politik pada pemilukada serentak 2015 lalu.
Jika seandainya nanti pada pemilihan gubernur DKI Jakarta Ahok benar-benar maju melalui jalur perseorangan (independen) maka bangsa ini akan menyaksikan pertandingan “Daulat Rakyat vs Daulat Partai Politik” memberikan pendidikan politik rakyat sangat indah sekaligus membangun demokrasi substantif di republik ini. “Ahok akan menjadi simbol rivalitas “koloni partai politik” sekaligus menguji kehendak (daulat) rakyat versus kepentingan (daulat) partai politik memimpin DKI Jakarta lima tahun ke depan.
Sebagai sarana pendidikan politik rakyat, para kompetitor tidak boleh sekali-sekali mengangkat isu suku, agama, ras, antargolongan/SARA, sebab memilih kepala daerah adalah memilih pemimpin negarawan terbaik untuk menghadirkan kemakmuran, kesejahteraan, keadilan, tanpa kecuali. Kita saudara sekandung putera/puteri Ibu Pertiwi, memiliki hak dan kewajiban yang sama dan sederajat sebagaimana termaktub pada pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.
Pemimpin negarawan selalu berpikir dan bertindak demi bangsa dan negara !
Oleh: Thomson Hutasoit
Penulis, Direktur Eksekutif LSM Kajian Transparansi Kinerja Instansi Publik/ATRAKTIP) tinggal di Medan-Provinsi Sumatera Utara. Medan, 12 Maret 2016
Sumber: thomsonhutasoit.blogspot.co.id
0 Response to "Fenomena Pilkada DKI - Ahok, Daulat Rakyat vs Daulat Partai Politik"