Namun saya kira jika ARB dkk tidak ingin melihat Golkar bertambah karut marut dan leverage politiknya sebagai salah satu kekuatan politik terbesar di negeri ini kian mengecil, maka pendekatan legal formal harus dihentikan. Pada akhirnya ARB dan para petinggi partai berlambang Beringin itu juga harus mau menggunakan pendekatan politik: rekonsiliasi. Artinya mereka harus menemukan solusi melalui tawar-menawar politik yang bisa diterima kedua kubu dan mampu memberikan ketenangan dan kepastian politik kepada jutaan anggota dan pendukung Golkar di seantero negeri. Itu sebabnya, saya termasuk orang yg sepakat jika MPG berinisatif melakukan resolusi konflik dengan target Munas rekonsiliasi secepatnya, agar karut marut dan perpecahan yang kian membangkrutkan partai itu segera diatasi.
Sayangnya, kiprah MPG yg dipimpin Prof. Muladi itu ternyata hanya setengah matang belaka setelah membentuk apa yang disebut sebagai Tim Transisi (TT) yang isinya adalah gabungan dari kedua kubu ARB dan AL serta para tokoh senior Golkar itu. Mengapa saya katakan setengah matang? Karena ujung-ujungnya yang dipilih sebagai Ketua Tim adalah Wapres Jusuf Kalla (JK). Terang saja pilihan seperti ini lantas menciptakan kontroversi baru dan menjadikan TT kurang kredibel. Mengapa kubu ARB mentah-mentah menolak TT dan bersikukuh bahwa MPG sebagai ilegal itu, sebagian karena faktor JK tsb. Serta merta ARB memakai jurus legal formal untuk mementahkan upaya rekonsiliasi karena dia melihat bahwa JK tidak mungkin akan bisa menjadi pihak yang independen. Dalam permainan politik di negeri ini, bukan hil yang mustahal bahwa ada skenario sebuah "end game" Munas rekonsiliasi berupa mengangkat JK menjadi Ketum DPP Golkar lagi!
JK: Semua Orang di Golkar Mau Persatuan
Tokoh senior Partai Golkar Jusuf Kalla belum membicarakan skema penyelesaian konflik Partai Golkar dengan para anggota Tim Transisi.
Namun, ia menekankan bahwa semua kader Golkar ingin agar konflik internal segera selesai.
"Baru mau saya tanya bagaimana (skema penyelesaian konflik) intinya kan persatuan seperti saya gambarkan sebelumnya. Semua orang di Golkar mau persatuan. Tinggal bagaimana kita menata persatuan dengan baik," ujar Kalla di Kantor Wakil Presiden, Jakarta, Senin (18/1/2016).
JK sebelumnya ditunjuk Mahkamah Kehormatan Golkar hasil Munas Riau sebagai ketua sekaligus anggota tim transisi. Selain itu, Mahkamah Partai juga menunjuk BJ Habibie sebagai Pelindung Tim Transisi.
JK mengatakan, Tim Transisi juga belum membicarakan pembentukan panitia Munas. Menurut dia, semua pembicaraan terkait penyelesaiaan konflik Golkar baru akan dibicarakan dalam waktu dekat ini.
"Belum, belum (dibicarakan). Saya juga baru mau bicara dengan teman-teman bagaimana itu," kata Kalla.
Mahkamah Partai Golkar yang diketuai Muladi memutuskan membentuk Tim Transisi untuk mewujudkan rekonsiliasi total melalui Munas.
Adapun para anggota tim transisi adalah Ginanjar Kartasasmita, Emil Salim, Abdul Latif, Suswono Yudhohusodo, Akbar Tandjung, Aburizal Bakrie, Agung Laksono, Teo L Sambuaga, dan Soemarsono.
Namun, Aburizal menolak keputusan tersebut. Ia mengatakan bahwa pihaknya tidak gentar dengan manuver Mahkamah Partai pimpinan Muladi. (Baca: Aburizal Bakrie: Saya Tidak Merasa Gentar Sedikit Pun!)
Hal ini disampaikan oleh Aburizal Bakrie saat acara Musyawarah Besar Luar Biasa Kosgoro 1957 di Denpasar, Sabtu (16/1/2016).
"Saya akan terus berjuang. Saya tidak merasa gentar sedikit pun, meskipun nama-nama besar dimasukkan di situ. Saya akan berjuang dengan saudara-saudara," kata Aburizal.
Adapun Wakil Ketua Umum Partai Golkar hasil Munas Bali Aziz Syamsudin menegaskan, pihaknya menolak keputusan pembentukan tim transisi lantaran MPG hasil Munas Riau yang dipimpin Muladi sudah habis masa jabatannya. (baca: Aziz Syamsudin: Saya Ketua Mahkamah Partai Golkar, Bukan Muladi)
Sebaliknya, kata Aziz, Golkar hasil Munas Bali sudah mendaftarkan kembali susunan kepengurusan MPG ke Kementerian Hukum dan HAM di mana dirinya menjabat sebagai Ketua MPG. (Kompas.com, 18/1)
Penunjukan JK sebagai Ketua Tim ini juga secara politik bisa melahirkan kerumitan baru bagi Presiden Jokowi (PJ) dan Pemerintah, yang selama ini berusaha keras utk berada di luar arena konflik parpol (kendati Menkumham YL acap dituding bersikap jauh dari netral). Dengan terjunnya JK di tengah pusaran konflik dalam posisi sebagai Ketua TT (KTT) itu, maka sulit bagi PJ utk bisa meyakinkan pihak yang berseteru bhw beliau dan Pemerintah netral. Sebab suka atau tidak JK adalah Wapres sehingga ipso facto Pemerintah. Bagi kubu AL, keberadaan JK tentu "menguntungkan" karena JK kini berhadapan dengan ARB. Namun jika konfrontasi ini berlanjut dan tidak menemukan solusi win-win, maka DPP Golkar akan mengalami semacam kebuntuan politik (political stalemate). Dan PJ mau tidak mau akan ikut terbawa-bawa dalam kegaduhan politik Golkar dan posisi beliau yang sudah semakin baik dalam persilangan kekuatan politik, akan terdampak pula!.
Walhasil, jika TT tetap ngotot dg JK sebagi Ketua transisi dan ARB juga ngotot menolak dengan pendekatan legal formalnya, saya melihat upaya rekonsiliasi yang sejatinya sudah mulai kuncup itu akan mati sebelum berkembang. Para elite Golkar mirip Sisyphus, Raja dari Ephyra, dlm mitologi Yunani kuno, yg dikutuk oleh Dewa Zeus utk mendorong batu ke atas puncak bukit dan sesampainya di atas menggelinding ke bawah lagi, terus menerus. Golkar bukannya akan mengalami kebangkitan kembali, tetapi sebaliknya: implosi atau ledakan dari dalam yang bisa jadi akan mengakhiri kejayaan dan kedigdayaannya sebagai kekuatan dan aset politik nasional.
Sebuah skenario buram yang seharusnya tidak perlu terjadi!!
Penulis: Prof. Muhammad AS Hikam
0 Response to "Munas Rekonsiliasi Golkar: Layu Sebelum Berkembang"